Browse By

Sepatu yang Kebesaran

Sabtu pagi ini, seperti biasanya, saya berlari pagi sejenak di sekeliling komplek Apartemen. Memang libur di hari sabtu biasa saya pergunakan, entah untuk berolahraga, berbelanja, atau juga memasak ayam atau daging. Hari-hari kerja biasa saya tidak dapat melakukan semua karena saya harus sudah bersiap-siap sekitar pukul tujuh untuk bekerja.

Hari ini saat sedang beristirahat sejenak sehabis berlari, saya melihat sepatu yang saya gunakan, kain di sisi kiri dan kanan sepatu saya sudah sobek. Ah, tentu, saya sering berjalan kaki setiap hari selama masih berkuliah, ditambah dengan umur sepatu ini yang sudah hampir tiga tahun. Tiga tahun? Ah, yang benar saja! Mungkin begitu pikiran para pembaca. Namun, benar, sepatu adik dan saya biasanya berumur 3-4 tahun baru setelah itu diganti. Biasanya karena sudah tidak dapat diperbaiki lagi, seperti solnya yang sudah habis dan rusak, atau kain penutup sisi sepatu yang sobek. Mengingat kembali sepatu ini yang dibeli mama sekitar Maret 2013 mengingatkan saya akan masa kecil adik dan saya.

Membeli Sepatu yang Kebesaran

Semenjak masih Taman Kanak-Kanak (TK), kami sudah terbiasa untuk membeli sepatu dengan 2 nomor di atas ukuran kaki kami. Tujuannya, supaya bisa dipakai lebih lama, sehingga tidak sering-sering beli sepatu. Berbeda dengan teman-teman SD lainnya yang sepatunya baru setiap tahun baru ajaran. Alasannya, ya tentu saja untuk menghemat pengeluaran. Saya masih ingat, dulu saat masih TK dan SD, memang perekonomian keluarga sedang berada di bawah. Usaha Papa bangkrut dan padahal ada banyak keperluan yang harus dibayarkan, salah satunya untuk kebutuhan sekolah kami yang cukup mahal. Sepatu-sepatu itu memang kebesaran, namun mama selalu mengupayakan sepatu dengan merek yang bagus. Ya, meskipun hanya memiliki satu sepatu, mama berprinsip sepatu itu harus nyaman dan enak dipakai.

Sepatu yang kebesaran itu lah yang menemani adik dan saya dalam perjalanan pulang SD berjalan kaki selama enam tahun. Begitu juga selama SMP dan SMA. Karena sering dipakai berjalan kaki, maupun berolahraga, sol sepatulah yang biasanya paling cepat rusak. Kalau masih bisa dilem atau dijahit, mama sering meminta tolong tukang sol sepatu memperbaikinya.

Kini, saat saya berada jauh di Filipina, pikiran saya kembali ke masa itu. Saat-saat kami masih susah (dalam hal ekonomi), maupun saat pertama kali menggunakan sepatu Weidenmann ini ke Bandung April 2013. Warnanya masih coklat tua, solnya masih hitam pekat dan tebal. Kini, solnya sudah berubah warna terkena panasnya aspal, dan juga sudah sobek di sisinya. Namun, saya bersyukur, sepatu ini masih nyaman saya pergunakan, entah untuk pergi gereja atau saat berkeliling Manila di akhir pekan.

Pelajaran Sepatu yang Kebesaran

Adik dan saya belajar banyak hal dari sepatu-sepatu ini. Sejak kecil, kami sudah terbiasa untuk berhemat dan berpikir panjang ke depan. Mungkin kedengarannya berlebihan, namun dampaknya sudah saya rasakan. Kebiasaan ini telah membentuk karakter kami untuk dapat hidup hemat dan sederhana, meskipun perekonomian keluarga sudah jauh membaik. Bahkan, saat terakhir membeli sepatu bersama mama Desember 2015 kemarin, mama memarahi saya karena terlalu hemat, dan terkesan tidak menikmati hidup. Tapi, inilah hidup yang saya nikmati. Hidup yang selalu mengucap syukur dalam segala keadaan.

Kenangan memakai dengan sepatu yang kebesaran sambil berjalan kaki pulang sekolah itulah yang saya abadikan dalam tulisan ini. Terima kasih Tuhan untuk kenangan ini.

Save

Recommended for you

Leave a Reply

You have to agree to the comment policy.