Browse By

Ukurannya Bukan Hasil

Sebuah berita besar bagi Bangsa Indonesia yang terjadi baru-baru ini. Seorang anak sekolah dasar di Surabaya disuruh oleh gurunya untuk memberikan contekan kepada teman-temannya saat Ujian Nasional berlangsung. Tamparan yang amat keras bagi bangsa ini ketika pendidikan akan pentingnya kejujuran itu bahkan dirusak di lingkungan pendidikan itu sendiri.

Mengapa Ukurannya Bukan Hasil?

Ukurannya bukan hasil

Ukurannya bukan hasil : Perumpamaan Yesus tentang talenta

Singkat cerita, si anak disuruh oleh gurunya membantu teman-temannya yang lain dengan memberi contekan agar semuanya dapat lulus ujian nasional. Orientasi hasil amat terlihat di sini. Si guru ingin semuanya muridnya lulus–bagaimanapun caranya–kalau perlu dengan mengizinkan pelanggaran dilakukan, bahkan menyuruh melakukan pelanggaran itu. Orientasi pada hasil jelas memberikan efek buruk yang lebih banyak daripada efek baiknya. Apa gunanya memperoleh atau meraih sebuah hasil yang gemilang, kalau hasil itu didapat secara curang? Apa gunanya menghasilkan sesuatu dengan jalan pintas dan tergesa-gesa kalau kemudian hasilnya menjadi bencana?

Apa pendapat Yesus tentang hal ini? Ternyata, Tuhan Yesus mempunyai ukuran lain dalam menilai suatu pekerjaan. Untuk maksud itu, Ia bercerita tentang tiga orang pegawai yang diberi modal oleh majikannya untuk dikelola dan dikembangkan “masing-masing menurut kesanggupannya”. Dalam cerita ini, pegawai pertama memperoleh lima talenta dan beroleh laba lima talenta. Pegawai kedua memperoleh dua talenta dan beroleh laba lima talenta. Pegawai ketiga memperoleh satu talenta dan tidak beroleh laba apa-apa karena tidak dikembangkan. Diceritakan, majikan itu pulang dan meminta pertanggungjawaban. Majikan itu memuji pegawai pertama dan kedua, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.” Lain halnya dengan pegawai ketiga, ia dimarahi, “Hai kamu, hamba yang jahat dan malas…”

Cerita lengkap mengenai hal itu terdapat di dalam Matius 25:14-30, dengan judul Perumpamaan tentang talenta. Jika kita membaca kisah ini sepintas, kisah ini memberikan kesan bahwa yang diukur adalah hasilnya; laba lima, dua, dan nol talenta. Ternyata tidak demikian. Yang menjadi pembahasan utama di dalam kisah ini adalah sikap dan perilaku terhadap tugas. Pegawai pertama dan kedua bukan dipuji karena laba yang mereka hasilkan, melainkan karena mereka mau menjalankan tugas. Mereka mau mengupayakan talenta itu, mereka mau melakukan sesuatu–dan dampaknya, laba dengan jumlah tertentu. Sang majikan juga bukan berkata, “Hai hambaku yang berhasil” atau “Hai hambaku yang mendatangkan keuntungan”, melainkan “Hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam perkara keci…”. Pegawai ketiga bukan disebut “Hai hambaku yang gagal” atau “Hai hambaku yang tidak mendatangkan keuntungan”, melainkan “Hai hamba yang jahat dan malas”. Ia dimarahi bukan karena tidak memberikan laba, melainkan karena ia tidak mengerjakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Ia memilih untuk menanam talenta itu di tanah tanpa ada usaha untuk menjalankan talenta itu.

Bagian sentral cerita ini bukan soal jumlah laba yang dihasilkan oleh tiap pegawai. Bagian sentral cerita ini adalah soal sikap para pegawai dalam mengelola talenta. Sikap yang dipuji adalah setia dan tekun dalam melaksanakan tugas, bertanggung jawab, rajin, dan kejujuran selama melaksanakan tugas itu. Sebaliknya, sikap yang dicela adalah sikap setengah hati, malas, asal-asalan dalam melaksanakan tugas. Apalagi sikap yang tidak berbuat apa-apa.

Melalui kisah ini, kita jelas mengetahui bahwa ukuran yang digunakan Yesus bukanlah hasil, melainkan proses. Inilah orientasi pada produk, yang amat berseberangan dengan orientasi hasil di bagian awal artikel ini. Orientasi proses menitikberatkan pada proses, saat di mana tugas itu dijalankan, bukan soal jumlah laba yang diperoleh. Dengan proses yang baik, kita meyakini bahwa hasilnya pun akan baik. Kalaupun kegagalan terjadi, itu bukanlah kesalahan; yang salah adalah kurang cermat atau bijaksana dalam proses. Yang terpenting adalah kita sudah berusaha maksimal dan penuh kesungguhan, hasilnya bukanlah soal utama.

Tuhan Yesus tersenyum puas bukan saat kita melaporkan hasil-hasil yang kita peroleh, jauh sebelum itu, yakni ketika Ia melihat kita melaksanakan tugas-tugas itu dengan tekun dan setia. Benar, ia melihat ketika kita sungguh-sungguh mendengarkan pelajaran di kelas, ia melihat ketika kita belajar keras sebelum ujian, dan ia melihat ketika kita tidak menyontek saat ujian. Setia dengan perkara yang kecil sekalipun. Sebab, ukurannya bukan hasil, namun prosesnya.

Sumber Gambar : skyriderfoundation.org

Recommended for you

Leave a Reply

You have to agree to the comment policy.