Browse By

From Bengkulu with Love Part 8: Energi Terbarukan

Melalui perbincangan bersama dengan Pak AA dan Pak Budi selama perjalanan ke Bengkulu, saya baru mengetahui betapa besar dampak dari perubahan harga beli energi listrik oleh PLN. Keputusan yang diambil oleh Kementian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) ini nyatanya memang memberikan efek “domino” dalam investasi di bidang energi, khususnya pembangkit energi dari sumber-sumber terbarukan. Harga beli energi listrik yang tidak berbeda jauh ketimbang batubara dan BBM membuat investor agak “malas” untuk mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan, karena membutuhkan modal awal (capital) yang jauh lebih besar, apalagi dengan pengaplikasian teknologi yang jauh lebih rumit.

“Mikrohidro itu berkapasitas di bawh 10 Megawatt. Harga sudah diatur juga dalam surat keputusan menteri sebesar Rp1.075 per kWh. Harga itu berlaku untuk tahun pertama sampai tahun delapan,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik setelah menandatangani kesepakatan (MoU) kerja sama teknologi infrastruktur pembangkit listrik tenaga air dengan pemerintah Austria di kantor ESDM, Jakarta, Senin (5/5/2014). Setelah memasuki tahun kesembilan, harga beli listrik akan diturunkan menjadi Rp750 per kWh. Selain itu juga ada faktor pengali harga (f) yang digunakan. Artinya harga beli listrik oleh PLN senilai Rp1.075 per kWh akan dikalikan lagi dengan faktor ini. Faktor ini berkaitan dengan lokasi pembangunan pembangkit listrik, di mana di Pulau Jawa faktor pengalinya adalah 1.0, Sumatera 1.1, kemudian Kalimantan dan Sulawesi 1.2, Nusa Tenggara dan Papua 1.3 atau lebih.

Energi terbarukan di Indonesia

Energi terbarukan di Indonesia

Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan harga beli listrik sebesar Rp656 per kWh. Harga tersebut ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah.

PLTMH Kanzy contohnya yang akan dibangun di daerah Bengkulu Tengah. Proyek ini mandek hampir beberapa tahun, karena nilai Return of Interest (ROI)-nya menyentuh angka 8 tahun. Artinya investor atau pemilik modal baru bisa mendapatkan untung (balik modal) setelah waktu 8 tahun, itupun dengan skema operasional yang paling aman. Artinya, PLTMH akan secara terus menerus menghasilkan listrik selama 8 tahun, dan PLN selalu mau membeli listrik tersebut. Nyatanya, dalam waktu 8 tahun sudah banyak biaya perawatan yang harus dikeluarkan juga adanya resiko penurunan daya terbangkitkan yang akhirnya mengurangi keuntungan.

Dengan peraturan menteri baru itu, ROI proyek ini menembus angka 5,5 tahun atau 5 tahun 6 bulan yang secara kasat mata sudah memberikan keuntungan yang layak bagi para investor. PLTMH Kanzy ini akhirnya dilanjutkan hingga ke proses konstruksi dan operasional. Artinya, diharapkan ke depannya akan semakin banyak investor yang mau terlibat di bidang energi, khususnya di daerah-daerah yang masih belum dikembangkan seperti Kalimantan, dan Indonesia bagian timur.

Energi baru dan terbarukan nyatanya harus menjadi fokus pengembangan sumber-sumber energi ke depannya. Ada banyak sumber energi non-fosil yang dapat dikembangkan di Indonesia, antara lain: air, biomassa, panas bumi, arus dan gelombang laut, angin, dan juga surya. Indonesia bisa kok berdikari di bidang energi, asalkan semua pihak terkait mau saling mendukung demi satu tujuan: Indonesia yang lebih baik.

Sumber diambil dari: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/05/05/238478/harga-listrik-dari-pltmh-turun-di-tahun-kesembilan
Sumber gambar : Wikipedia Commons

Recommended for you

Leave a Reply

You have to agree to the comment policy.