Browse By

Ketika Kembali ke Rumah di Tokyo

Rumah di Tokyo

Suasana Stasiun Higashi Fushimi, stasiun dekat rumah di Tokyo

Hujan rintik-rintik sudah berhenti, namun udara dingin bertiup menyengat masuk lewat sela-sela jaket. Dengan sedikit agak gemetar, saya melangkah menyusuri jalan menuju ke rumah. Hari itu sudah bulan April tanggal 1. Sudah lebih dari satu bulan saya meninggalkan tempat ini.

Saya masih ingat betul ketika saya melewati jalan yang sama pada 26 Februari yang lalu. Waktu itu saya keluar dari rumah di Tokyo pukul 19.15, menitipkan kunci kepada Bang Partogi, lalu berjalan ke halte bus dekat rumah untuk naik bus jam 19.27. Kunci rumah saya titip ke Bang Partogi karena rumah akan dipergunakan untuk orangtua Bang Partogi dan Kak Agung yang akan datang menghadiri upacara kelulusan kedua kakak kelas. Waktu itu saya berkata untuk tidak usah sungkan-sungkan menggunakan barang di kamar. Saya juga berpesan kalau nanti Bang Partogi kembali pulang ke Indonesia, tolong masukkan kuncinya ke dalam loker saya di dekat pintu masuk asrama.

Tanggal 26 Februari waktu itu, saya naik bus pukul 19.27. Waktu itu saya naik bus karena membawa barang yang lumayan berat. Saya pun ingin menyimpan tenaga untuk perjalanan panjang menuju ke Indonesia. Namun kali ini tanggal 1 April, saya berjalan kaki pulang ke rumah, tidak naik bus. Itu dikarenakan sudah larut malam dan bus tidak lagi beroperasi.

Perjalanan Pulang ke Rumah di Tokyo

Lewat trotoar di sebelah kanan, saya menggendong tas dan menarik koper. Suara taktaktak dari koper dan jalan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di malam sunyi itu. Hampir tidak ada kendaraan yang lewat, hanya beberapa orang mengendarai sepeda yang sedang membeli makanan di konbini (minimarket) setelah pulang bekerja.

Selama berjalan kaki kurang lebih lima belas menit menuju ke rumah dari stasiun, pikiran saya terus melayang-layang. Saya mengingat kembali waktu saya melewati jalan ini namun dengan naik bus satu bulan lalu. Mengingat perjalanan naik kereta api menuju ke Haneda, lalu ke Malaysia, dan ke Indonesia. Mengingat ketika tiba di Soekarno Hatta dan dijemput Papa dan pergi ke kantor Mama. Mengingat sederetan aktivitas yang bisa saya lakukan di Indonesia.

Taktaktak. Suara koper masih berderak, menghempaskan kesunyian malam itu. Saya jadi teringat suasana pagi tadi. Ketika saya, Abang, Papa, dan Mama pergi jam enam kurang menuju ke Bandara Soekarno Hatta dari rumah. Saya teringat ketika menitipkan barang dan mengucapkan selamat tinggal kepada Abang, Papa, dan Mama di pintu keberangkatan. Teringat bertemu dengan Nantulang di ruang tunggu bandara dan di Malaysia. Teringat kalau sampai tadi kami masih bersama di Bandara Haneda.

Di keheningan malam itulah pikiran saya terbang melayang kemana-mana. Memikirkan perubahan yang terjadi hanya dalam satu hari. Perubahan beda waktu satu jam dengan Malaysia, lalu satu jam lagi dengan Jepang. Perubahan udara pagi yang cerah di Indonesia, mendung di Malaysia, dan hujan rintik-rintik di Jepang. Perubahan suhu udara yang makin dingin. Perubahan dari Indonesia ke Jepang. Perubahan dari yang ramai menjadi sepi seorang diri. Hanya dalam satu hari, semuanya berubah. Hanya dalam satu hari semuanya diambil dari saya.

Saya mengingat kembali perjalanan pulang saya dua tahun dan satu tahun sebelumnya. Kala itu saya naik pesawat Garuda Indonesia yang tiba di Narita pada siang hari. Naik kereta api menuju ke rumah dan tiba kurang lebih pukul 1 siang. Karena siang hari, saya bertemu dengan banyak orang sehingga saya tidak terlalu memikirkan perubahan drastis itu. Ketika tiba pukul 1 siang di rumah, saya biasanya langsung tertidur pulas dengan barang-barang masih dibiarkan begitu saja. Barulah ketika malam tiba saya memasak nasi dan makan malam dengan beberapa bekal yang dibawa dari Indonesia dan kemudian merapikan barang-barang bawaan.

Kini karena tiba malam hari, suasana begitu sepi. Saya jadi terus-terusan berpikir tanpa bisa mengontrol diri sendiri. Hingga akhirnya, saya tiba di klimaks pikiran malam itu. Di manakah tempat saya? Di mana saya yang sesungguhnya? Adakah di Jepang? Atau di Indonesia? Di mana saya ingin hidup? Di mana Tuhan ingin menetapkan saya?

Perjalanan lima belas menit menuju ke rumah di Tokyo terasa begitu panjang. Banyak hal yang saya pikirkan dan ingat kembali. Pada akhirnya saya sampai di kesimpulan bahwa tempat saya yang sebenarnya adalah di Indonesia. Kala itu saya tepat tiba di pintu masuk asrama rumah di Tokyo. Dengan menyalakan lampu senter dari handphone saya membuka pintu masuk asrama yang sudah gelap seluruhnya. Saya meletakkan tas dan koper di lantai dan mulai mencari kunci di loker milik saya. Waktu menunjukkan 00.50 larut malam.

Sumber Gambar : pds.exblog.jp

Recommended for you

Leave a Reply

You have to agree to the comment policy.