Browse By

Kala Gempa Melanda Sore itu

Kegiatan Pagi Hari Tanggal 11 Maret 2011

Sejak pagi, semua berjalan seperti biasa. Sebelum pergi menuju kelas untuk belajar bahasa Jepang, saya masih tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Bangun pada pukul 05.30 untuk beribadah dan saat teduh. Kemudian, sambil memasak air minum dan menanak nasi, saya menyalakan televisi dan mendengarkan Radio Pelita Kasih melalui Live streaming internet. Kemudian sarapan dan mandi pagi. Saya juga masih sempat untuk membaca buku kanji, untuk mencicil bahan ujian yang akan diadakan hari Senin dan Selasa.

Saya bahkan masih sempat merencanakan untuk berbelanja sebentar, berjumpa tutor, dan menulis di blog. Pulang dari kelas bahasa pada pukul 16.30, kemudian kembali ke kamar dan bersiap-siap. Pergi ke supermarket untuk membeli buah, susu, dan bahan makanan. Sekitar pukul 17.30, kembali ke kamar, merapikan belanjaan, dan makan malam. Setelah itu kembali lagi turun dan menuju ke ruang belajar, untuk bertemu dengan tutor. Ya, semua rencana itu sudah saya pikirkan di dalam hati. Saya juga sudah mendoakannya.

Sebelum meninggalkan kamar, saya masih sempat menonton berita di televisi. Beritanya mengenai potensi tsunami yang mungkin terjadi di pantai Miyagi. Sejak satu malam sebelumnya, memang gempa kecil terus menerus terjadi, namun dalam skala kecil. Potensi tsunami pun dikeluarkan namun hanya setinggi 50 cm. Saya masih dapat melihat pemandangan pantai Miyagi yang indah pagi itu.

Kala Gempa Melanda Jepang

Tapi memang siapa yang dapat mengetahui masa depan? Pukul 14.46, saat saya sedang berada di kelas belajar bahasa, guncangan besar terjadi. Awalnya saya hanya merasakan sedikit saja, dan hanya berkata kepada Sensei, “Sensei, Jishin“. Sensei pun nampaknya belum menyadarinya, dan masiih melanjutkan pelajaran. Saya kemudian berdiri dan membuka pintu kelas. Saat guncangan semakin besar, saya kembali berteriak “Jishin” dan berlari menuju tangga. Tanpa membawa barang apapun. Saat itu listrik  langsung padam. Yang ada dalam pikiran saya, ini adalah gempa besar, dan saya harus berlari secepatnya  keluar gedung. Dari lantai 5, melewati lorong tangga yang gelap, akhirnya saya sampai di lantai 1. Rupanya pintu otomatis tidak dapat digunakan. Saya kemudian beserta 2 orang teman yang  telah sampai memaksa membuka pintu itu. Akhirnya pintu terbuka dan kami berlari menuju ke lapangan luas di depan perpustakaan.

Dari lapangan itu saya dapat merasakan betul guncangan yang sangat besar. Teramat besar bila dibandingkan dengan pengalaman gempa bumi yang pernah saya alami. Saya melihat gorden lipat dari plastik di jendela gedung, semuanya bergoyang hebat. Ya, ini gempa yang besar. Sangat besar.

Kala Gempa Melanda : Informasi gempa pertama kali.

Kala Gempa Melanda : Informasi gempa pertama kali.

Sekitar 5 menit kemudian, orang-orang sudah mulai ramai dan berkumpul di lapangan itu. Guru dan teman-teman saya juga sudah berkumpul. Sambil menantikan informasi, kami berbicara satu sama lain. Saya coba mencari informasi mengenai gempa yang terjadi melalui Iphone teman saya. Beberapa saat homepage memang tidak bisa dibuka, namun akhirnya saya mengetahui informasinya. Saat itu tertulis kekuatan gempa sebesar 8.4 Skala Richter, dalam skala Jepang 7/7. Terjadi di lepas pantai Miyagi-Ken, Touhoku Chihou. Paling kuat.

Kami semua kemudian disuruh menunggu, jaga-jaga siapa tahu ada gempa susulan. Dan memang ada beberapa kali gempa susulan yang lumayan kuat. Saya langsung terpikir mengenai televisi yang ada di dalam kamar. Apakah televisi itu jatuh? Padahal baru dibeli seminggu sebelumya. Ah, semuanya memenuhi pikiran saya.

Sekitar pukul 16.20, kala gempa sudah mulai reda getarannya, kami semua diijinkan kembali beraktivitas dengan catatan harus sangat berhati-hati. Saya, teman-teman dan Sensei kembali menaiki tangga menuju kelas kami. Sensei kemudian memberitahukan hal-hal penting mengenai gempa. Saya mendengarkannya. Saat di dalam kelas pun ada setidaknya 2 kali kala gempa susulan yang terasa lumayan kuat. Setelah merapikan semua buku, saya kembali menuju asrama dan ingin secepatnya memeriksa keadaan kamar.

Dalam perjalanan, tutor mengatakan bahwa densha tidak bisa berjalan karena listrik padam. Hari ini kegiatan tutor tidak bisa dilakukan. Saya mengatakan tidak apa-apa, dan mengabarkan keadaan saya baik-baik saja. Saat sampai di kamar, ruangan sudah mulai gelap, namun saya melihat keadaan kamar saya baik-baik saja. Hanya kertas kado yang ditaruh di atas lemari jatuh ke lantai. Ya, hari sudah mulai gelap, dan nampaknya keadaan mati listrik akan terjadi semalaman.Saya hanya bisa mempersiapkan diri, menaruh paspor dan dompet, air minum, makanan kecil di dalam tas. Memakai sarung tangan dan kaus kaki, berjaga-jaga ada gempa susulan, dan dapat segera melarikan diri. Selama masih ada cahaya, saya masih mencoba untuk membaca buku kanji, mencicil bahan ujian hari Senin, hingga cahaya benar-benar tidak ada. Benar-benar gelap.

Beberapa kali guncangan gempa terasa sangat kuat. Namun saya bersikap tenang. Saya hanya dapat duduk di atas tempat tidur bersandar di tembok agar dapat merasakan gempa. Saya tidak bisa membaca berita lewat HP untuk menyimpan baterai. Saya hanya mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang ditulis di akun Facebook saya. Pada akhirnya, saat keadaan benar-benar sunyi dan gelap, saya hanya menyanyi dan berdoa kepada Tuhan selama kurang lebih 2 jam.

Dalam pikiran saya, semua rencana tadi pagi itu terbengkalai dan sama sekali tidak bisa dilaksanakan. Saya tidak bisa bertemu dengan tutor. Saya tidak bisa berbelanja bahan makanan dan keperluan lain. Saya tidak bisa membaca habis semua buku kanji. Apa sebabnya? Sebab yang sama sekali tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Penyebab yang semakin menyadarkan saya, bahwa Tuhan sangat berkuasa atas semuanya. Atas daratan, atas lautan, atas tumbuh-tumbuhan, atas hewan, dan atas manusia.

Inilah kisah kala gempa menyerang Jepang sore itu.

*Kosakata
Sensei : Guru
Jishin : Gempa bumi
Touhoku : Timur Laut
Chihou : Bagian

Sumber Gambar : BlogSpot

Recommended for you

Leave a Reply

You have to agree to the comment policy.