Browse By

Untukmu, Sahabatku#3, Keluarga Dhika Dinata-part 1

Dhika Dinata dan keluarga di acara resepsi pernikahan Kak Tonny Tanuwidjaja (Facebook)
Hidup ini tidak bisa dijalani seorang diri. Itu adalah kata Aristoteles: manusia adalah makhluk sosial. Benar memang, semua kegiatan tidak bisa dilakukan seorang diri saja. Kita tetap membutuhkan campur tangan orang lain dalam tiap segi dalam hidup. Kalau dipikir-pikir, kita mungkin sudah mati bila tidak ada orang yang mengasihi dan membantu. Adalah munafik orang yang pernah berpikir dia jauh lebih baik dari orang lain, mampu melakukan ini itu sendirian. Tidak perlu bantuan orang lain.
Dari lahir, keluargalah yang paling dekat. Ada orangtua yang merawat sejak lahir. Ada pula saudara yang menyayangi kita. Tidak berhenti sampai situ. Di luar rumah ada orang lain yang tentu menaruh perhatian yang sama pula. Tidak jarang saya terheran-heran melihat ada tetangga yang luar biasa baiknya. Dari kecil hingga kini, relatif tidak berubah atau luntur perhatiannya. Kali ini saya mau bercerita tentang keluarga Om Rudi.
Rumah keluarga ini tidak jauh, hanya berselang 4 rumah dari rumah saya. Keluarga ini terdiri dari Om Rudi sendiri, tante Lily (saya sering memanggil tante Ester), kak Ester, dan Dhika. Om Rudi hampir 10 tahun bekerja di luar negeri, di negara Amerika Serikat. Baru akhir-akhir ini beliau kembali ke tanah air. Tante Ester, dia ibu rumah tangga biasa, punya usaha salon, dan suka membuat kue. Kak Ester sendiri sudah kuliah, dan Dhika, umurnya lebih muda 2 tahun dari saya. Kali ini saya mau khusus bercerita mengenai Dhika.
Saat sekolah dasar, hampir setiap hari saya, abang, Dhika, dan anak-anak lain bermain bersama. Pernah suatu kali, kami bermain layangan. Layangannya sudah terbang tinggi sekali. Benangnya sudah hampir habis dan kami ingin menyambungkan dengan benang yang baru. Tapi karena kurang kuat dalam memegangnya, malahan benang itu terlepas dan terbawa angin bersama dengan layangan. Akhirnya kami rugi karena putus panjang. Tapi Dhika hanya berkata, “ya sudahlah, memang sudah nasib. Besok kita tetap main kok.” Wah itu perkataan orang yang berjiwa besar.
Hari berganti hari. Suatu saat kami juga tengah bermain bola bersama di pinggir jalan. Karena menendang terlalu keras, akhirnya bola itu tercebur ke kali dan terbawa arus. Sekali lagi Dhika berkata, “Emang udah saatnya hilang kali bang.” Sekali lagi perkataannya semakin memastikan bahwa Dhika adalah seorang yang berjiwa besar.
Hari minggu yang lalu, diadakan sharing di gereja. Semuanya diluar dugaan. Ko Tonny seharusnya membawa firman Tuhan, tapi malah beliau tidak datang, mungkin karena alasan mendesak. Firman Tuhan akhirnya diganti dengan sharing pribadi tentang sekolah khususnya. Saya bercerita tentang teman yang menyepelekan pelajaran di sekolah, yang kerjaannya hanya bermain dan sering bolos. Tapi Dhika menceritakan mengenai dirinya sendiri. Dia berkata bahwa sering ada saat bilamana tidak memiliki uang. Bahkan untuk pulang sekolah, atau membeli bensin untuk motor vespanya. Namun Tuhan tidak pernah tinggal diam, Tuhan selalu menyediakan yang kita perlukan, katanya. Ada saat tiba-tiba teman datang dan minta diantarkan ke rumahnya (ngojek ceritanya), dan dia memberikan ongkos. Uang itulah yang dipergunakan untuk pulang dan membeli bensin, lanjutnya. “Yang penting halal”, katanya menutup sharing. Semua teman di gereja langsung tertawa mendengarnya. Saat sampai di rumah, saya kembali mengingat kebesaran jiwa yang dimiliki Dhika. Saya mencoba mengingat dan merangkumnya untuk Anda.
****
Jangan pernah putus asa dalam hidup.
Jangan terpaku menangisi pintu yang tertutup, karena masih ada pintu lain yang terbuka.
Jangan hanya menangisi matahari yang telah terbenam, karena air mata akan menghalangi engkau melihat indahnya bintang.
Inilah cerita “Untukmu Sahabatku” bagian ketiga, semuanya saya berikan kepada Dhika, sang sahabat yang berjiwa besar.

Recommended for you

Leave a Reply

You have to agree to the comment policy.